Headlines News :

Agen Bola Online : Betapa Ambigunya Sepakbola

Written By Unknown on Jumat, 04 Januari 2013 | 15.13

Agen Bola Online : Betapa Ambigunya Sepakbola
Agen Bola Online
Agen Bola Online : Betapa Ambigunya Sepakbola
Jakarta - Sepakbola memang bukan sebuah rumusan yang statis dan bergerak linear. Selalu terdapat banyak cerita di dalamnya. Konflik antara Mario Balotelli dan Roberto Mancini hanyalah sebagian kecil.

Untuk urusan perkelahian dengan rekan setim, Newcastle United menjadi tim yang cukup sering melakukannya. Sebelum Kieron Dyer dan Lee Bowyer melakukannya pada tahun 2005 lalu saat laga kontra Aston Villa, Alan Shearer dan Keith Gillespie sudah merumuskan 'baku hantam yang baik dan benar' untuk para Juniornya saat The Magpies melakukan tur ke Irlandia Utara tahun 1997 silam.

Kala itu, ketika rombongan tim tengah berada di sebuah bar, tanpa alasan yang jelas Gillespie terus menerus melemparkan tutup botol ke Shearer. Sekali, dua kali, hingga lebih dari tiga kali akhirnya Shearer menyeret sekaligus memukuli Gillespie di selokan hingga berdarah-darah.

Maestro sekelas Michel Platini pun juga pernah melakukannya. Bahkan kali ini dengan alasan yang lebih nyentrik dan konyol. Momen tersebut terjadi pada Piala Dunia 1982. Kala itu, rekan setim Platini, Jean-Francois Larios, tengah diisukan sebagai pencinta sesama jenis. Tebak siapa 'gebetan' Larios? Ya, Platini.

Mendengar gosip tersebut, Platini dikabarkan sempat bersitegang dengan Larios. Akan tetapi, dengan status Platini sebagai bintang sekaligus kapten tim saat itu, maka Larios harus rela dipulangkan dari camp latihan.

Bayangkan bagaimana jika sekarang, dengan jabatannya sebagai Presiden UEFA, Platini disinggung oleh seorang wartawan tentang isu tersebut. Barangkali tak akan pernah ada Financial Fair Play, ide mahsyur bentukan Platini itu, karena yang ada nantinya bisa jadi Financial Gay Play.

Apa yang terjadi antara Balotelli dengan Mancini sejatinya bukanlah hal yang tak dapat diprediksi. Justru momen tersebut disinyalir kuat akan segera terjadi jika menilik berbagai kasus Balotelli selama ini di Manchester City: bertengkar dengan Vincent Kompany, Yaya Toure, hingga berebut tendangan bebas dengan Alexander Kolarov dalam sebuah laga.

Dengan Mancini sendiri Balotelli sudah berkali-kali diberitakan berselisih paham. Anda tentu masih ingat bagaimana Mancini berang dengan Balotelli lantaran penyerang keturunan Ghana tersebut menyia-nyiakan peluang gol di depan gawang dalam laga pra musim.

Maksud Balotelli kala itu ingin mencetak gol sambil bergaya ala Zidane 'Roulette', tapi bola justru bergulir keluar tanpa membahayakan gawang lawan sama sekali. Jika Mancini adalah Alex Ferguson, saat itu telinga Balotelli mungkin sudah berdarah karena 'Fergie's Hairdryer Treatment'.

Terlepas dari berbagai konflik antarrekan setim yang ada, sepakbola membuat para pecintanya kian menyadari bahwa olahraga ini memang tak sebatas permainan olah taktik atau ulasan data-data statistik yang rumit. Sepakbola nyatanya mampu menyediakan ruang untuk imajinasi liar, untuk cerita-cerita absurd sampai tragedi kelam penuh darah dan dendam.

Asumsi bahwa sepakbola mampu mewartakan kisahnya sendiri sempat ditulis Allan Hutchinson tahun 2005 dengan esainya yang berjudul 'If Derrida Had Played Football'. Berangkat dari ide Jacques Derrida tentang dekonstruksi, Hutchinson menganalisa bagaimana Derrida menolak ide kehidupan (permainan) statis menurut Plato.

Plato sempat menyebut bahwa hidup tak ubahnya sebuah permainan, di mana hanya ada satu jenis jalan yang berlaku, oleh karenanya hidup akan bermakna statis, lurus, kaku. Akan tetapi, tak diherankan jika Plato berasumsi demikian, sebab murid Socrates tersebut berangkat dari sisi moralitas atas nama Tuhan.

Derrida, sebagaimana tak ubahnya Friedrich Nietzsche dan Martin Heidegger, kemudian menolak analisa Plato tersebut. Derrida enggan bersepakat jika permainan, dalam hal ini sepakbola, hanya memberlakukan satu rumusan, satu ideologi, satu gaya.

Selalu akan ada antidot dalam sebuah rumusan yang linear bagi Derrida. Untuk itu, Derrida lalu menerbitkan ide bernama dekonstruksi, sebuah ide yang menjungkirbalikkan ide-ide mapan, yang pada mulanya bermaksud menjelaskan kontradiksi internal sebuah teks.

Hutchinson lantas menyebut dekonstruksi adalah upaya paling tepat untuk menggambarkan bagaimana sepakbola sesungguhnya tak pernah benar-benar dapat terkungkung dalam aturan yang baku, sebab sepakbola sejatinya adalah uraian panjang tentang kultur kehidupan, atau, merujuk kalimat Derrida, 'pelajaran tentang budaya'.

Bertahun-tahun setelahnya, kita tahu bahwa Plato salah dan Derrida benar dalam hal tersebut. Sepakbola memang sebuah budaya tersendiri, dari sana gambaran tentang masyarakat maupun individu dapat dirumuskan sekaligus dinilai, ditelaah dan ditelisik lebih jauh.

Akan tetapi, dengan banyaknya varietas yang terdapat dalam sepakbola, maka secara natural sepakbola pun menjadi ambigu dengan sendirinya. Menilik pernyataan Theodor Adorno, olahraga, dalam hal ini sepakbola, dapat menjadi antitesis dari kebiadaban komunal, sekaligus bisa menjelma sebagai kebrutalan itu sendiri.

Orang memang bisa jadi amat kejam justru ketika merasa berbuat benar. Dalam sepakbola, begitu banyak tragedi terkait hal tersebut. Tak perlu jauh-jauh ke Eropa untuk melihatnya, di Indonesia, dualisme PSSI-KPSI sudah dapat menjadi contoh terbaik bagaimana kebodohan dan kekejaman dapat berkelindan erat dan membunuh rasa malu.

Sepakbola pada akhirnya memang sukar didefinisikan. Anda bisa menyebut sepakbola adalah permainan antara 22 orang di lapangan dengan waktu selama 90 menit (tanpa menghitung injury time). Tapi di antara 22 orang itu, selalu terselip momen yang membuat bulu kuduk berdiri atau air mata membasahi kelopak dalam sepersekian detik.



Siapa yang bisa mendefinisikan bagaimana George Weah dapat memiliki inisiatif untuk mencetak gol solo run ke gawang Hellas Verona tahun 1996 silam? Siapa pula yang dapat menebak Maradona berani mencetak gol yang tersohor itu dengan tangannya ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986 ketika tensi konflik di kepulauan Malvinas tengah tinggi-tingginya?

Maka demikianlah, tak perlu kaget kalau suatu saat Balotelli dan Mancini justru berdamai dengan menjadi sepasang menantu dan mertua. Sepakbola memang semata bukan permainan konsep, ia berada di luar konsep. Dan percayalah, Lionel Messi bukan satu-satunya alien terakhir yang bermain sepakbola di bumi.
Anda sedang membaca artikel tentang Agen Bola Online : Betapa Ambigunya Sepakbola dan anda bisa menemukan artikel Agen Bola Online : Betapa Ambigunya Sepakbola ini dengan url http://bola338.blogspot.com/2013/01/agen-bola-online-betapa-ambigunya.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Agen Bola Online : Betapa Ambigunya Sepakbola ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Agen Bola Online : Betapa Ambigunya Sepakbola sebagai sumbernya.
Agen Bola Online : Betapa Ambigunya Sepakbola 9 out of 10 based on 99978 ratings. 1 user reviews.
Posted by: Admin bola338.com, Updated at: 15.13
Share this article :
 
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger